Kamis, 25 Oktober 2018

Tafsir Al-Qur'an


  Tafsir Alquran
1.      Pengertian Tafsir Al-Qur’an
Istilah tafsir merujuk kepada Alquran sebagaimana tercantum di dalam ayat 33 dari surah Al Furqan. Pengertian yang dimaksud dengan kasyf al mughatha (membukakan sesuatu yang tertutup) dan tafsir menurut Ibn Manzhur adalah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafadz. (Nashruddin, 2012: 39)
2.      Sejarah Tafsir Alquran
  Nabi Muhammad selain memerintahkan kepada para umatnya supaya mempelajari Alquran            dan menuntut arti tujuannya yang sulit atau penjelasannya, beliau pernah juga mendoakan               seorang sahabatnya yaitu Ibnu Abbas R. A. Agar beliau diberi kepandaian dalam ilmu agama termasuk dalam tafsir alquran. Doa Nabi Muhammad dikabulkan oleh Allah, akhirnya Ibnu Abas R. A. Menjadi salah satu sahabat Nabi Muhammad yang paling mahir tentang urusan tafsir alquran. Para ulama tafsir di zaman para sahabat adalah sebagai berikut:
1.      Abdullah Ibnu Abbas R. A., tafsir yang diriwayatkan dari beliau yang paling shahih dan dapat dipercaya ialah yang diriwayatkan dengan jalan Ali bin Abi Thalhah yang biasa diambil/dikutip oleh Al Bukhari, At Thabari. Tafsir dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan dengan jalan Ibnu Juraij dan Mujahid biasanya dikutip oleh Bukhari dan Muslim.
2.      Ali bin Abi Thalib. Tafsir yang diriwayatkan dari beliau yang terpercaya adalah tafsir yang diriwayatkan dari Wahbin dari Ibnu Thufail.
3.      Abdullah bin Mas’ud R. A. Tafsir yang shahih dari beliau ini ialah yang diriwayatkan oleh imam At Thabari dalam kitab tafsirnya.
Para sahabat Nabi yang ahli tafsir Alquran kemudian mengajarkan tafsir Aquran kepada para muridnya. Para orang Islam yang hanya dapat bertemu dengan para sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup yang mereka itu menururut istilah para ulama Islam disebut tabi’in. Dari antara mereka tabi’in yang ahli tafsir Alquran ialah:
1.      Imam Sa’ied bin Jubair.
2.      Imam ‘Athaa bin Abi Rabah.
3.      Imam ‘Athaa bin Abi Salamah.
4.      Imam ‘Athiyah Al ‘Ufi.
5.      Imam Qatadah.
Mereka itulah para ulama ahli tafsir di masa sesudah para sahabat Nabi Muhammad. (Munawar, 1985: 178-180)

(Ringkasan Makalah)

Pembacaan Alquran dengan Tujuh Macam Huruf atau qiraat sab'ah


 Pembacaan Alquran dengan Tujuh Macam Huruf
Pada awal abad ke II hijriah, orang-orang yang hafal Alquran bertambah banyak. Akan tetapi pada waktu itu, orang mulai ramai lebih suka mengemukakan gurunya masing-masing yang memang dari antara mereka itu bacaan Alquran agak berlainan. Para guru itu kemudian menjadi masyur namanya, dari karenanya dan yang paling masyur di kala itu ialah:
1.   Di Madinah, Imam Nafi’ bin Abi Na’iem, ia belajar kepada 70 orang ahli qiraat, yang mereka itu bekas murid dari Abdullah bin Abbas R. A. Imam Nafi’ meninggal pada tahun 169 H.
2.   Di Mekkah, Imam Abdullah bin Katsier, ia belajar kepada Zaid bin Tsabit R. A. Imam Abdullah bin Katsier minggal pada tahun 120 H.
3.      Di Bashrah, Imam Abu Amr bin Al’Alla, ia belajar kepada Sa’ied bin Jubair R. A. Imam Abu Amr bin Al’Alla meninggal pada tahun 155 H.
4.   Di Dimsyaq (Syam), Imam Abdullah bin Amir, ia belajar kepada Mughirah bin Syu’bah yang pernah belajar kepada Utsman bin Affan R. A. Dan Abu Dardaa R. A. Imam Abdullah bin Amir wafat pada tahun 245 H.
5.      Di Kufah, Imam Abu Bakar Aashim bin Abin Najwad, ia belajar kepada Abdullah As Sulami dan Zur bin Hubaisy, mereka itu pernah berguru kepada Utsman bin Affan, Ali bin Thalib, Zaid bin Sabit. Imam Abu Bakar Aashm bin Abin Najwad wafat pada tahun 129 H.
6.     Di Kufah, Imam Hamzah bin Hubaib, ia belajar kepada Said Ja’far As Shadiq yang sanad beliau ini dalam belajar qiraat sampai kepada Ali bin Abi Thalib. Imam Hamzah wafat pada tahun 154 H.
7.      Juga di Kufah,Imam Ali bin Hamzah Al Kusai, ia berguru kepada Imam Hamzah bin Hubaib. Imam Ali bin Hamzah Al Kusai wafat pada tahun 189 H.
Tujuh orang Imam tersebut itulah yang masyur ahli qiraat yang kemudian terkenal dengan Qiraat Sab’ah. Karena masing-masing memang sangat teliti dalam meriwayatkan qiraat yang berasal dari para sahabat Nabi. Tentang sebab timbulnya perbedaan qiraat itu ialah karena tulisan-tulisan dalam mushaf-mushaf yang disiarkan oleh Khalifah Utsman dikala itu belumlah diberi tanda yang jelas. Sungguhpun demikian, pertikaian dan perbedaan qiraat itu tidaklah merusakkan atau membahayakan isi Alquran. Karena yang diperselisihkan itu hanya dalam pembacaan yang kecil belaka. Misalnya tentang panjang pendeknya bacaan suatu huruf, urusan baris atau syakalnya dan sebagainya

Sejarah Huruf dan Tulisan pada Alquran


Sejarah Huruf dan Tulisan pada Alquran
Menurut riwayat, tulisan ayat-ayat Alquran sejak dimasa Nabi Muhammad sehingga ayat-ayat itu dihimpun dan dibukukan menjadi sebuah mushaf sebagaimana tersebut di atas, adalah ditulis dengan tulisan bahasa Arab yang disebut Kuffi, yakni asal dari nama kota Al Kufah.
Islam dan Alquran tersiar disegenap negara-negara Arab dan sekelilingnya yang dialek bahasa Arabnya ditiap-tiap negara agak berlainan. Oleh sebab itu, untuk memelihara kebaikan bacaannya dari segala kekeliruan dan untuk menjaga kebenaran artinya dari segala macam kesalahan, maka dirasa perlu tulisan dari huruf-huruf Alquran itu diberi nuqthah dan i’rab. Nuqthah atau syakal adalah pemberian tanda-tanda yang menunjukan harakat huruf-huruf. Para ulama menyebut hal ini dengan nuqthah sebab pada awal bentuknya masih seperti titik yang diletakkan di bawah, di tengah, atau di kanan huruf. I’rab adalah perubahan akhir kalimat dalam bahasa Arab karena perbedaan a’mil yang memasukinya baik secara lafadz maupun secara perkiraan.
Pada masa Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan tahun 40-60 H, oleh Imam Abdul Aswad Ad Da’uli direncanakan tanda-tanda harakah atau baris bagi huruf-huruf Alquran. Tetapi barisnya masih berupa titik yang ditulis merah.
Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Mawan tahun 65-86 H, dengan perantara raja Hajjaj bin Yusuf, diperintahkan pula supaya masing-masing huruf Alquran yang serupa diberi tanda secukupnya. Umpamanya huruf “ba, ta, tsa.” Maka oleh Syekh Nashar bin Aashim dan Syekh Yahya bin Ya’mar direncanakan tanda-tanda untuk membedakan satu persatunya huruf dari ayat-ayat Alquran.
Pada tahun 162 H Imam Kalil bin Ahmad direncankan pula tanda yang lebih terang agar tak salah dalm hal panjang pendek. Yakni, oleh beliau diadakan lagi tanda baris (harakah), tanda yang harus dibaca panjang (maddah), tanda harus dibaca tebal/keras (syiddah), tanda harus dibaca mati (sukun) dan demikian seterusnya, sebagaimana tanda yang terpakai hingga sekarang.
Adapun tulisan ayat-ayat Alquran yang ada sekarang ini, bukan lagi tulisan Kufi. Karena tulisan yang model Kufi itu dari satu masa ke masa yang lain telah diperbagus dan diperbaiki, sehingga di masa seorang wazir dari pemerintahan Abbasiyah, ialah Al Wasir ibnu Muqlah di Baghdad pada tahun 272 H beliau inilah yang mengatur dan membentuk tulisan ayat-ayat Alquran seperti yang ada sekarang ini.
Tentang membagi Alquran menjadi 30 juz dan pada tiap-tiap juz diadakan tanda nishfu (separuh) dan pada tiap-tiap nishfu diadakan tanda rubu’ (seperempat), itu adalah inisiatif dari Gubernur Hajjaj bin Yusuf tersebut.